BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika ada seseorang meninggal yang
disebut dengan pewaris meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli
waris harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya
masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada
masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah
khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk
menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan
itu dilakukan secara khusus. Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan
radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan
harta.
Pendidikan
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hukum aul ?
2. Bagaimana
hukum radd ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-‘Aul
Al-’aul adalah
bertambahnya pembagi (jumlah bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya
bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan banyaknya ashhabul furudh sedangkan
jumlah seluruh bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashhabul
furudh tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada, meskipun
akhirnya bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian
seorang suami yang semestinya mendapat 1/2 dapat berubah menjadi 1/3 dalam
keadaan tertentu, seperti bila pembaginya dinaikkan, dari 6 menjadi 9. Maka
dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (1/2) hanya
memperoleh 3/9 (1/3). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pembaginya naik atau bertambah.
Pada masa Rasulullah
saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus ‘aul tidak
pernah terjadi. Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin
Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata, "Orang yang pertama kali menambahkan
pembagi (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika
fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Riwayat kejadiannya
adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara
perempuan sekandung. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima
suami adalah 1/2, sedangkan bagian dua saudara perempuan sekandung 2/3. Dengan
demikian, berarti pembilangnya melebihi pembaginya, karena 1/2 + 2/3 = 7/6.
Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah
dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara perempuan
sekandung, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi hal
demikian Umar pun berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara
kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku
berikan hak suami, pastilah saudara perempuan sekandung pewaris akan dirugikan
karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih
dahulu hak kedua saudara perempuan sekandung pewaris maka akan berkuranglah
bagian suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat
Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Abbas bin Abdul Muthalib dan Zaid bin
Tsabit mengusulkan kepada Umar agar menggunakan metode ‘aul. Umar menerima
anjuran tersebut dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan
fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah
hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati
sebagian besar sahabat Nabi saw., kecuali Ibnu ‘Abbas yang tidak menyetujui
adanya ‘aul ini.
Pembagi yang Tidak
Dapat Di-’aul-kan
Pembagi yang tidak
dapat di-’aul-kan ada empat, yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Contoh – Pembagi 2
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami serta seorang saudara perempuan sekandung. Maka pembagiannya
sebagai berikut: Bagian suami 1/2, dan bagian saudara perempuan sekandung 1/2.
Dalam hal ini, pembaginya adalah 2. Maka dalam masalah ini tidak dapat
menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 3
Seseorang wafat dan
meninggalkan ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: Ibu mendapat 1/3
bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pembaginya adalah 3.
Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan ‘aul.
Contoh – Pembagi 4
Seseorang wafat dan
meninggalkan istri, saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sekandung.
Maka pembagiannya sebagai berikut: Bagian istri 1/4, sedangkan sisanya (yakni
3/4) dibagi dua antara saudara laki-laki sekandung dengan saudara perempuan
sekandung, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam
hal ini pembaginya adalah 4. Maka dalam masalah ini tidak dapat menggunakan
‘aul.
Contoh – Pembagi 8
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara perempuan sekandung.
Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 8, bagian istri 1/8 berarti
satu bagian, anak 1/2 berarti empat bagian, sedangkan saudara perempuan
sekandung menerima sisanya, yakni 3/8. Maka dalam masalah ini tidak dapat
menggunakan ‘aul.
Kesimpulan
1.
Ketika diketahui jumlah seluruh bagian ahli
waris, dimana nilai pembaginya lebih besar atau sama dengan pembilangnya, maka
disana tidak perlu menggunakan metode ‘aul.
2.
Metode ‘aul digunakan jika nilai pembaginya
lebih kecil dari pembilangnya.
Pembagi yang Dapat Di-’aul-kan
Angka-angka pembagi
yang dapat di-’aul-kan ialah angka 6, 12, dan 24. Namun, ketiga pembagi itu
masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri.
Pembagi 6 hanya dapat
di-’aul-kan/dinaikkan menjadi 7, 8, 9, atau 10. Lebih dari angka itu tidak
bisa. Berarti pembagi 6 hanya dapat dinaikkan hingga empat kali saja.
Kemudian pembagi 12
hanya dapat dinaikkan menjadi 13, 15, atau 17. Lebih dari itu tidak bisa. Maka
pembagi 12 hanya dapat di-’aul-kan maksimum tiga kali saja.
Sedangkan pembagi 24
hanya dapat di-’aul-kan ke angka 27 saja, dan itu pun hanya pada satu masalah
faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan
"masalah al-mimbariyyah". Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin
Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 7
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 6, bagian suami 1/2 berarti
tiga, bagian saudara perempuan sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan bagian
saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu bagian. Dengan demikian, jumlah
bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 7/6. Oleh karena itu, pembagi 6
dinaikkan menjadi 7.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 8
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ibu, saudara perempuan sekandung, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pembaginya dari 6, bagian
suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu bagian, saudara perempuan
sekandung 1/2 berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu 1/6 berarti satu
bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu
8/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 8.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 9
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dan dua
orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pembaginya 6.
Bagian suami 1/2 berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara perempuan
sekandung 2/3 berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu 1/3
berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah
pembagi, yaitu 9/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 9.
Contoh – Pembagi 6 di ‘Aulkan ke 10
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pembaginya enam.
Bagian suami 1/2 berarti tiga, ibu 1/6 berarti satu, bagian dua orang saudara
seayah 2/3 berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu
1/3 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah
pembagi, yaitu 10/6. Oleh karena itu, pembagi 6 dinaikkan menjadi 10.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 13
Seseorang wafat dan
meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara perempuan sekandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pembaginya dari 12. Bagian istri 1/4 berarti
tiga, bagian ibu 1/6 berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara
perempuan sekandung 2/3 berarti delapan bagian. Dengan demikian, jumlah
bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 13/12. Oleh karena itu, pembagi
12 dinaikkan menjadi 13.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 15
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara perempuan sekandung, seorang
saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pembaginya 12. Bagian istri 1/4 berarti tiga, ibu
mendapat 1/6 berarti dua bagian, saudara perempuan sekandung memperoleh 1/2
berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah 1/6, sebagai penyempurna
dua pertiga, yang berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga
1/6 berarti dua bagian. Dengan demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah
pembagi, yaitu 15/12. Oleh karena itu, pembagi 12 dinaikkan menjadi 15.
Contoh – Pembagi 12 di ‘Aulkan ke 17
Seseorang wafat dan
meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan
seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut: pembaginya 12. Bagian ketiga orang istri adalah 1/4 berarti tiga
bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah 1/6 yang berarti dua bagian, bagi
kedelapan saudara perempuan seayah 2/3 nya, berarti delapan bagian, dan bagian
keempat saudara perempuan seibu 1/3 yang berarti empat bagian. Dengan demikian,
jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 17/12. Oleh karena itu,
pembagi 12 dinaikkan menjadi 17.
Contoh – Pembagi 24 di ‘Aulkan ke 27
Masalah ini dikenal
dengan sebutan al-mimbariyyah. Kasusnya adalah: Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pembaginya 24. Ayah
mendapat 1/6 berarti empat bagian, ibu memperoleh 1/6 berarti empat bagian,
istri mendapat 1/8 berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat 1/2 berarti dua
belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat
1/6, sebagai penyempurna 2/3, yang berarti empat bagian. Dengan demikian,
jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pembagi, yaitu 27/24. Oleh karena itu,
pembagi 24 dinaikkan menjadi 27.
Kesimpulan
1.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian 1/2 dari harta waris,
kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang
masing masing berhak mendapatkan bagian 1/2, maka pembaginya dari 2, dan tidak
dapat di-’aul-kan.
2.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lain sisanya, atau
dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian 1/3 dan yang lainnya 2/3,
maka pembaginya dari 3, dan tidak ada ‘aul.
3.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/4 dan yang lain sisanya, atau
dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat 1/4 dan yang lain berhak
mendapat 1/2, maka pembaginya dari 4, dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian 1/8 dan yang lain sisanya, atau
dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya
setengah, maka pembaginya dari delapan, dan tidak ada ‘aul.
2.
Pengertian Ar-radd
Ar-radd adalah
berkurangnya pembagi (jumlah bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli
waris. Hal ini disebabkan sedikitnya ashhabul furudh sedangkan jumlah seluruh
bagiannya belum mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih
tersisa, sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima
sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini kita harus menurunkan atau
mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah
ashhabul furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka menjadi bertambah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd adalah kebalikan dari al-’aul.
Syarat-syarat Terjadinya
ar-Radd
Ar-radd tidak akan
terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah
ini:
1.
Adanya ashhabul furudh
2.
Tidak adanya ashabah
3.
Adanya sisa harta waris
Bila dalam pembagian
harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan
terjadi.
Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi
dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul
furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
1.
Anak perempuan
2.
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3.
Saudara perempuan sekandung
4.
Saudara perempuan seayah
5.
Ibu kandung
6.
Nenek sahih (ibu dari bapak)
7.
Saudara perempuan seibu
8.
Saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah
dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan
tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan
bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak
mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari
ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri.
Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi
karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali
pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu
mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya
mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam
suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris,
suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam
Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat macam
Ar-radd tersebut adalah:
1.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian
waris yang sama, tanpa adanya suami atau istri.
2.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian
waris yang berbeda-beda, tanpa adanya suami atau istri.
3.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian
waris yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
4.
Adanya ashhabul furudh yang mendapat bagian
waris yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Hukum Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu
keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang
sama, misalnya, semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau
seperempat, dan seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau
istri, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total
orangnya).
Contoh 1
Seseorang wafat dan
hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari mereka mendapat
1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian
mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan sisanya mereka
terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah
mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan bagian yang
sama.
Contoh 2
Seseorang wafat dan
hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka masing-masing dari
mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh,
yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10, disebabkan bagiannya
sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh 3
Seseorang wafat dan
meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka masing-masing dari
mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka sama secara fardh,
yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka pembaginya adalah dua,
disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya hanya dua.
Hukum Keadaan Kedua
Apabila dalam suatu
keadaan terdapat bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada
salah satu dari suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai
pembilangnya, bukan dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).
Contoh 1
Sebagai misal,
seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki
seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki seibu
1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Perhatikan nilai 3/6
diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi 3. Maka
bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh 2
Seseorang wafat
meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan keturunan anak
laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2, untuk seorang
cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan perhitungannya dibawah
ini:
Maka pembaginya dari
4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian seorang anak
perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/4.
Hukum keadaan Ketiga
Apabila para ahli
waris semuanya dari ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai
salah satu dari suami atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan
pembaginya ashhabul furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah
sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh 1
Seseorang wafat dan
meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4 bagian,
dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah
kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris
mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
- Suami:
2/8
- Anak
perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8
Contoh 2
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta seorang
saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya 3/4
dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara
perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak
memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya
secara pas, yakni sebagai berikut:
- Istri:
1/4
- Saudara
seibu masing-masing mendapatkan: 1/3
Contoh 3
Seseorang wafat dan
meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka istri
mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya 7/8
merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara
mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga
masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai
berikut:
- Istri:
5/40
- Anak
perempuan masing-masing mendapatkan: 7/40
Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu
keadaan terdapat ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya
terdapat pula suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah
suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya
menurut bagiannya masing-masing.
Contoh 1
Seseorang wafat dan
meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka istri
mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua orang saudara
perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari
bagiannya sebagai berikut:
Nenek + Saudara Perempuan Seibu:
Pembagi diatas di radd
kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua orang saudara perempuan
seibu 2/3. Pembagian akhir:
- Nenek
= 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan
kepada istri.
- Dua
orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing
saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.
- Istri
= 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di
radd kan.
Contoh 2
Seseorang wafat
meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri adalah 1/8,
dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu menurut
bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai berikut:
Anak Perempuan + Ibu:
Pembagi diatas di radd
kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan adalah 3/4 dan
ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu harus ditashih,
sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian bagian ibu pun
menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16. Pembagian
akhir:
- Dua
orang anak perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan
mendapatkan 21/64.
- Ibu
= 2/8 x 7/8 = 14/64.
- Istri =
2/16 x 4/4 = 8/64.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut
fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi kekurangan harta ketika
pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka
angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan inilah yang
dinamakan ‘aul.
Menurut
fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian warisan
dimanapembilang lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta dibagikan ke
delapan ahli waris tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli waris tanpa
terkecuali.
Persamaan
mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi Hukum islam yaitu ketika
angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan
sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd
yaitu tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam
masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hab
al-furudl. Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam
masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli
waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran
dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabani, Muhammmad Ali.
1995. Pembagian Waris Menurut Islam.Jakarta : Gema Insani Press
DEPAG. 2002. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Surabaya
Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan:
Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam.Jakarta
: Rajawali Pers
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan
Islam. Jakarta: Kencana
http://amirsabri.blogspot.com/2010/11/al aul-dan-ar-radd.html
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar